MOJOK.CO - “Kisah sedih tentang mimpi memiliki Yamaha F1ZR yang terkubur oleh hoax membangun.”
Kisaran tahun 2012, setelah kelar nyantri di pesantren salafi, keinginan untuk memiliki sepeda motor sendiri tak bisa saya tahan lagi. Sudah terbayang-bayang nikmatnya touring menggunakan sepeda motor dengan keadaan telinga disumbat earphone sambil mendendangkan musik melalui Walkman.
Ketika pulang ke rumah, ayah saya menyambut dengan menawari motor apa yang saya inginkan. Saya tak banyak menuntut. Sebab, sewaktu di pesantren saya tak begitu banyak mendapat asupan informasi seputar sepeda motor yang lagi ngetren. Selain itu saya sepenuhnya sadar dengan kondisi perekonomian keluarga. Poin kedua ini juga yang membuat saya mafhum, sudah barang tentu motor yang dimaksud ayah saya adalah motor seken.
Hari yang ditunggu tiba juga. Ayah saya pulang membawa motor yang ia pilih. Motor itu adalah Suzuki Bravo RC100.
Mengingat itu motor pertama dalam sejarah keluarga kami, saya begitu gembira menyambutnya. Ya, meskipun itu cuma Suzuki Bravo. Motor biru yang jaman itu selalu nongkrong di kantor kecamatan. Barangkali ini berkat ajaran di pesantren untuk selalu bersyukur dan qona’ah.
***
Seiring berjalannya waktu, sikap qona’ah itu mulai berubah menjadi rasa minder. Lha ya gimana, kehidupan di rumah, berinteraksi dengan banyak informasi dan kawan-kawan penggemar Valentino Rossi, membuat pandangan saya terhadap motor berpendingin Jet Cooled ini berubah.
Saya dilema. Mau merengek minta ganti sepeda motor yang lebih mbois, kok nggak tega. Bertahan dan setia sama Bravo, malah bikin ciut nyali. Kalau boleh saya ulangi waktu Ayah membawakan Bravo dulu, saya ingin menyanyikan “Bukan Bravo Nurbaya” yang liriknya kira-kira seperti ini, “Bukan Bravo, Mama, bukan Bravo, Papa….”
Berbekal tekad kuat mengubah Bravo jadi lebih baik, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan pemuda Lamongan, saya merantau ke negeri orang. Hasilnya, tabungan dari sisa penghasilan saya selama satu tahun cukup untuk menyulap Bravo menjadi motor impian. Mekanismenya begini: menjualnya dengan harga yang pantas, lalu hasil penjualan tersebut ditambah tabungan dipakai untuk membeli motor impian.
Ngomong-ngomong soal motor impian saya, selama di tempat perantauan, datang hasutan dari kawan agar pulang kampung nanti saya menggunakan motor baru yang keren. Saat itu keinginan terbesar saya adalah memiliki Yamaha F1ZR dengan striping merah-putih-hitam.
Muncul aneka pertanyaan dari kawan, saudara, bahkan ibu-ibu tetangga: kok F1ZR? Padahal saat itu sudah ada produk Yamaha yang teranyar, Jupiter. Dan barang tentu lebih irit dari F1ZR karena sudah mengusung teknologi mesin 4 tak. Kalau mau yang lebih irit lagi dan bisa bernostalgia dengan bentuk kuno Suzuki Bravo, saat itu ada yang namanya Honda Astrea Prima atau Honda Astera Grand. Kedua motor terakhir ini konon "kambu bensin ae wes iso mlaku." Cium aroma bensin saja sudah bisa jalan tuh motor.
Masalahnya, saya sudah kadung terobsesi sama si F1ZR ini. Saking terobsesinya, kalau ditanya kenapa suka dengan F1ZR, saya kadang memberi jawaban yang terkesan mengada-ada. Seperti pada suatu kesempatan, saya menjawab karena nama dan penyebutannya yang keren: F1ZR (baca: ef-wan-zet-er). Bagi saya ini sangat keren dan terdengar sedikit —mengutip iklan—ada manis-manisnya.
Kalau ditanya lagi kenapa suka F1ZR padahal ia punya reputasi boros yang minta ampun, saya akan menjawab, “Lho jangan salah, itu secara nggak langsung membuktikan bahwa dompetnya yang punya motor tebal.” Ini alasan yang dibuat-buat saja, sebab aslinya, untuk rutin beli oli samping saja kudu dibarengi puasa Senin-Kamis.
Terhadap pertanyaan yang belum tersampaikan pun saya sudah ada stok jawabannya. Pokoknya, saya sudah membayangkan betapa gagah dan kerennya naik motor dengan kopling manual. Padahal, fyi aja nih, saat itu saya nggak sepenuhnya andal mengendalikan kopling manual. Ini sebenarnya salah satu salah paham saya. Nyatanya, kopling di F1ZR itu semi-otomatis, tak seperti kopling pada RX King, GL Max, atau motor kopling manual lainnya.
Kesalahpahaman saya yang lain adalah saya belum menyadari bahayanya melayang-layang ketika memacu F1ZR dengan kecepatan tinggi. Bentuk bodi dan kerangkanya yang ramping dengan bobot hanya 95 kilogram sangat berpotensi membuat F1ZR melayang saat digeber dengan kecepatan tinggi.
Ada sisi baiknya juga sih. Naik motor ini bisa menambah pahala karena saya jadi ingat Tuhan terus. Masalahnya, saat itu saya belum menyadari hal tersebut dan bangga jika bisa naik motor sambil melayang-layang. Bagi kawan yang sering menasihati tentang hal tersebut, ucapannya langsung mental. Memang tidak berguna menasihati orang yang kadung fanatik.
***
Tahun 2006 harusnya saya sudah bisa membawa pulang F1ZR seken yang masih mulus. Saat itu saya sudah mengantongi uang sekitar 10 juta-an. Akan tetapi, saya tak langsung membeli karena (1) F1ZR sudah discontinued, (2) harganya turun drastis menjadi 4 sampai 5 jutaan. Bukannya senang, saya malah jadi khawatir.
Ini gara-gara pada 2003, Menteri Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan aturan tentang ambang batas emos gas buang kendaraan bermotor agar setara dengan standar Euro 2. Keputusan ini berlaku bagi setiap kendaraan yang sedang diproduksi dan mulai diberlakukan pada 2005.
Sejatinya peraturan itu berlaku bagi perusahaan kendaraan bermotor saja, bukan menggasak para pemilik kendaraan bermotor. Apalagi pengendara yang kebetulan pinjam motor tetangga.
Namun, kemudian malah muncul kabar, entah dari polisi atau media saya tak ingat, bahwa di kota-kota besar seperti Surabaya sudah diterapkan perda emisi sehingga motor 2 tak dengan oli samping macam F1ZR dilarang masuk kota. Bahkan tersiar kabar di daerah saya bahwa beberapa orang pengendara FIZR yang tak sengaja menjumpai operasi lalin langsung ditilang polisi.
Saya yang taat norma, hafal Pancasila, dan suka panas dingin kalau berhadapan dengan polisi ini tentu langsung mengubur dalam-dalam impian memiliki F1ZR. Peduli setan soal cinta dan harapan, saya lebih takut uang saya masuk kas polisi gara-gara motor saya berbunyi tret-tet-tet-tet-tet dengan asap putih khasnya.
Endingnya bisa ditebak. Saya nggak jadi beli F1ZR atau motor 2 tak apa pun.
***
Dua belas tahun berlalu. Kini saya berdomisili di perbatasan Gresik-Surabaya-Sidoarjo, tepatnya di daerah Driyorejo. Keluar masuk kota Surabaya nyaris tiap hari, mudik ke Lamongan dua atau tiga bulan sekali, main ke teman yang rumahnya di Sidoarjo berkali-kali. Di jalanan yang saya lalui itu, tak satu pun pengguna motor 2 tak yang ditilang polisi.
Ealah, ingin rasanya saya mengumpat sambil merapal nyanyian jawa alias pisuhan khas suroboyoan. Juaaancoook!
[Dikisahkan oleh: Muhajir Dono Husodo]
0 Komentar:
Posting Komentar